Opini - Sekilas negara saat ini terlihat stabil dan tenang damai. Namun sebenarnya bangsa kita memiliki masalah yang kompleks yang senantiasa butuh perhatian dan solusi terbaik.
Masalah keamanan wilayah di perbatasan Papua dengan KKB, kasus bersih-bersih di tubuh Polri, kasus transaksi keuangan 349 T di kementerian keuangan, kasus bunga utang kereta api cepat, kasus pengalihan fungsi lahan, dan sebagainya.
Dari banyak kasus yang terjadi , kasus perpajakan menjadi salah satu yang sorotan, selain karena pajak merupakan penyumbang terbesar dalam APBN negara kita, kasus pelanggaran hukum terjadi hampir tiap tahun sejak 2009 – 2023 yang dilakukan oleh oknum pajak atau orang-orang yang bekerja di instansi perpajakan.
Kasus ini seperti puncak gunung es yang muncul dipermukaan dan ketika ditelusuri akan membuat kita tercengang dengan keterlibatan pihak lain dan dengan jumlah yang fantastis. Gratifikasi, suap, tindakan pencucian uang, pemerasan dan manipulasi laporan keuangan adalah rentetan kasus yang terjadi.
Gayus Tambunan (2009), Bahasyim Assifie (2011), Dhana Widyatmika (2012), Tomy Hindratno (2013), Eko Darmayanto & Muhammad Dian Irawan Nuqisra (2013), Pargono Riyadi (2013), Handang Soekarno (2016), Yul Dirga dan 3 Pegawai Pajak Lainnya (2019), Angin Prayitno (2021), Abdul Rachman (2022), Rafael Alun Trisambodo.
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara dalam APBN dan penyumbang terbesar pendapatan negara setiap tahun. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan realisasi pendapatan negara mencapai Rp2.626, 4 triliun sepanjang 2022. Angka ini mencapai 115, 9?ri target yang ditetapkan Perpres 98/2022, yakni Rp2.266, 2 triliun. Realisasi pendapatan negara pada 2022 meningkat 30, 6% dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Pada 2021 realisasi pendapatan negara besarnya Rp2.011, 3 triliun.
Mayoritas pendapatan negara pada 2022 berasal dari penerimaan pajak, yakni Rp1.716, 8 triliun (65, 37%). Nilainya meningkat 34, 3% dibanding 2021.
Sumber : https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/01/05/pendapatan-negara.
Berdasarkan data diatas, kita mengetahui bahwa pendapatan negara dari sektor pajak merupakan penyokong terbesar APBN, memiliki tantangan yang tinggi pula. Perpajakan di Indonesia diatur melalui pasal 23A UUD 1945 dan peraturan lainnya seperti UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dalam pasal 23A UUD 1945 dikatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Pajak adalah kontribusi wajib yang diberikan wajib pajak kepada negara.
Baca juga:
Ernest, Apa itu Dunguh?
|
Saat membayarkan pajak, negara tidak memberikan imbalan langsung. Pajak pun bersifat memaksa dan hasil pungutannya tersebut harus digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak dikategorikan berdasarkan tiga hal yaitu :
Berdasarkan golongannya/cara pemungutannya (pajak langsung dan pajak tidak langsung).
Berdasarkan sifatnya (pajak subjektif dan pajak objektif). Berdasarkan lembaga pemungutannya (pajak pusat dan pajak daerah). Sejak tahun 1983, pemerintah Indonesia telah mengubah sistem pemungutan pajak yang semula menggunakan official assessment (dipakai saat era kolonial Belanda) menjadi self assessment.
Apa perbedaan dua sistem tersebut? Salah satu inti perbedaan dari dua sistem pemungutan pajak ini adalah wewenang menetapkan besaran pajak terutang. Jika pada official assessment, wewenang penetapan besaran pajak ada pada pemerintah, sedangkan pada self assessment wewenang tersebut ada pada wajib pajak.
Di era pra kolonial (sebelum masuknya Belanda), pajak dikenal dengan istilah upeti. Upeti dipungut oleh raja untuk kepentingan pribadi dan operasional kerajaannya. Ketika di jajah Belanda, saat itulah sistem kita mengenal sistem perpajakan modern.
Salah satu jenis pajak yang berlaku saat itu di antaranya pajak rumah tinggal yang diberlakukan tahun 1839 dan pajak usaha. Pemerintah Kolonial Belanda juga membedakan besar tarif pajak berdasarkan kewarganegaraan wajib pajak.
Baca juga:
Pemilu dan Penduduk Miskin
|
Pada tahun 1885 misalnya, pemerintah memberlakukan kenaikan pajak tinggal untuk warga Asia menjadi 4%.
Dasar hukum yang mengatur perpajakan di Indonesia.
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diatur dalam UU No. 6/1983 dan diperbarui oleh UU No. 16/2000.
Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang diatur dalam UU No. 7/1983 dan diperbarui oleh UU No. 17/2000.
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan yang diatur oleh UU No. 8/1983 dan diganti menjadi UU No. 18/2000.
Undang-undang penagihan pajak dan surat paksa yang diatur dalam UU No. 19/1997 dan diganti menjadi UU No. 19/2000.
Undang-Undang Pengadilan Pajak yang diatur dalam UU N0. 14/2002.
Perpajakan di Indonesia juga memiliki asas yang jelas. Berikut ini berbagai asas perpajakan yang berlaku di Indonesia.
Asas Finansial.
Asas Ekonomis.
Asas Yuridis.
Asas Umum.
Asas Sumber.
Asas Kebangsaan atau Nasionalitas.
Asas Wilayah atau Teritorial
Dalam pemungutan pajak, ada prinsip-prinsip global yang harus dipatuhi, salah satunya adalah no taxation without representation yang mengandung ketentuan bahwa dalam aturan pemungutan pajak harus dapat mewakili kepentingan masyarakat.
Aspek pengaturan pajak yang diatur dalam UU yaitu : Kepastian hukum sistem perpajakan yang menentukan objek, subjek pajak mengidentifikasi basis perpajakan, tarif, dan administrasi perpajakan.
Baca juga:
Tony Rosyid: Puan Makin Terancam?
|
Dasar kewenangan pemungutan pajak oleh pemerintah yang mencakup bestuur. Dalam menjalankan UU ada pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Kemudian regelgeving yaitu adanya ada pembagian kewenangan dalam pemungutan pajak. Serta rechtspraak yaitu pemerintah harus melaksanakan upaya administrasi apabila ada masyarakat yang mengajukan gugatan administratif terhadap SKP.
Hubungan hukum antara wajib pajak dan pemungutnya sehingga memberi hak dan kewajiban antara negara dan masyarakat.
Penegakan hukum dengan penerapan sanksi administrasi dan pidana.
Perlindungan hukum yang diatur dalam UU KUP dan UU No 14 Tahun 2020 tentang Pengadilan Pajak.
Pajak di samping memiliki fungsi budgeter dan regulerend, juga memiiki fungsi pemerataan, yaitu mengurangi pendapatan dari yang kaya untuk mensubsidi yang miskin.
Contohnya bagi warga negara yang memiliki pendapatan tinggi maka pajak dan persentasenya juga semakin tinggi. Berbeda dengan warga negara yang pendapatannya rendah tidak dikenai pajak, inilah yang akhirnya memunculkan program keluarga harapan (PKH), program-program untuk pengangguran, dll.
Fungsi lainnya adalah stabilisasi yaitu pajak digunakan untuk mengurangi siklus ekonomi, menjaga stabilitas perekonomian negara. Misalnya pada masa resesi yaitu masa ketika kegiatan ekonomi lumpuh, pemerintah mengeluarkan dana untuk mendorong kegiatan ekonomi, dengan menyelenggarakan program padat karya, mengadakan pemberian intensif pajak, dll.
guna meningkatkan perekonomian negara,
Melihat fungsi pajak yang sangat besar terhadap negara untuk menyokong pembangunan, lantas mengapa banyak penyimpangan dan pelanggaran hukum didalamnya? Praktek ‘kongkalikong’ antara petugas dan wajib pajak masih terjadi sampai sekarang, khususnya di proses pemeriksaan pajak.
Modus yang terjadi, dimana oknum petugas akan menawarkan penurunan jumlah (mark down) wajib pajak kepada konsultan maupun langsung ke perusahaan, atau pun sebaliknya sehingga terjadi "negosiasi dan suap antara pembayar dan petugas pajak". Akhirnya terciptalah hubungan saling menguntungkan antar pihak sehngga sulit terdeteksi.
Hal lain yang menjadi penyebab timbulnya dispute dalam perpajakan karena pengumpulan pajak di Indonesia menggunakan “sistem target” yang menimbulkan “hengki-pengki” antara petugas dan wajib pajak.
Menteri keuangan memberi target ke semua kepala pajak setiap provinsi hingga turun ke bawah, berapa target masing-masing. Dari target-target itu, muncul isu transaksional, isu korupsinya, isu pemanfaatan jabatan, dan terjadi hengki pengki. “Target itu menjadi penyebab utama yang memunculkan transaksional antara petugas dan wajib pajak.
Selain praktik korupsi di sektor pajak terjadi dalam bentuk suap menyuap, pemerasan hingga gratifikasi, dari telaah adminstrasi perpajakan, penilaian, pembuatan keputusan besaran pajak, hingga pemeriksaan di pengadilan, faktor lain adalah faktor mental berupa keserakahan dan gaya hedonis juga menjadi pemicunya, sehingga masyarakat menjadi kurang percaya terhadap institusi ini.
Saribulan